Lain yang Gatal, Lain yang Digaruk, Sidang MK – Ahmadiyah ke-14
Ulasan sidang MK-Ahmadiyah ke-14 ini bersumber dari Dewan Da’wah Pusat, dewandakwah.or.id – Komunitas Ahmadiyah jelas salah kaprah bila meminta penafsiran Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang PNPS Tahun 1965, ataupun mencabut undang-undang tersebut di atas. Terjadinya diskriminasi dan kekerasan, penyebab utamanya karena ummat Islam merasakan ajaran agamanya dinista dan diobok-obok oleh kelompik Ahmadiyah, bukan disebabkan oleh undang-undangnya.
Pada Kamis kemarin, 8/2/18, merupakan sidang MK tentang Ahmadiyah ke-14. Dalam sidang tersebut Dewan Da’wah yang merupakan Pihak Terkait mendatangkan 3 Ahli guna memberi keterangan pada majelis hakim. Sidang tersebut diajukan Komunitas Ahmadiyah dikarenakan merasa mendpatkan perlakuan diskriminatif dan stigma sesat. Permohonan yang diajukan tersebut adalah penafsiran bersyarat atas pasal 1,pasal 2 dan pasal 3, UU No. 1/PNPS/1965.
Ketiga ahli yang dimaksud di atas ialah: Sosiolog Prof. Musni Umar, pakar HAM H. Amidhan Sabherah, dan pakar Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra. Musni Umar dan Amidhan Sabherah memberikan penjelasan langsung, sedang Yusril – karena waktunya berbarengan dengan Sidang PTUN untuk membela Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) – memberi penjelasan tertulis avid davit (ditandatangani notaris).
Menurut pandangan Musni Umar, Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan merdeka tanggal 17/8/45 sesuai dengan pembukaan UUD 45 memiliki kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Yang dilindungi bukan hanya keamanannya, tetapi juga agama, kepercayaan, harta, budaya, bahasanya, dll.
Dalam kerangka melindungi segenap bangsa Indonesia itu, menurut Musni Umar, UUD 45 Pasal 28J menegaskan, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib hukum masyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Ia juga menerangkan, di dalam menjalankan haknya, tiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan tujuan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.”
Kemudian, Musni Umar juga mengungkapkan keprihatinannya atas perlakuan yang tidak sepatutnya dialami oleh komunitas Ahmadiyah di Indonesia. “Sejatinya tidak perlu terjadi masalah di dalam hubungan antara komunitas Ahmadiyah dengan umat Islam”. Masalahnya, kenapa hal ini bisa terjadi pada komunitas Ahmadiyah? Musni Umar membeberkan 5 faktor, yakni faktor teologis, kitab suci Ahmadiyah, masjid Ahmadiyah yang eksklusif, komunitas Ahmadiyah yang eksklusivis, dan tidak adanya penyelesaian masalah Ahmadiyah secara komprehensif. Itulah kelima faktor penyeban utamanya.
Seorang muslim yang paham dan beriman pada ajaran agamanya tentu tidak dapat menerima pandangan dan keyakinan komunitas Ahmadiyah tentang Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Musni Umar, sebagai Sosiolog juga menilai bahwasanya perlakuan yang tidak sepatutnya terhadap komunitas Ahmadiyah penyebab utamanya (prima causa) bukanlah karena UU no. 1/PNPS/1965, tetapi karena mereka mengaku beragama Islam tapi menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul, padahal umat Islam meyakini bahwasanya Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir.
Terkait dengan masjid milik komunitas Ahmadiyah, sejatinya tidak masalah jika masjid itu untuk kepentingan seluruh umat Islam laki-laki dan perempuan. Tapi dalam realita, masjid dibangun untuk kepentingan komunitas Ahmadiyah saja. Hal ini makin menambah persoalan karena menimbulkan kecurigaan dari umat Islam bahwa komunitas Ahmadiyah secara diam-diam terus menjalankan ajaran Islam yang keliru. Jadi tidak heran jika muncul aksi di berbagai wilayah untuk melarang Ahmadiyah salat di masjid mereka dan bahkan penyegelan masjid oleh masyarakat.
Dalam pandangan Musni Umar, bila ingin menghentikan kekerasan di dalam masyarakat terhadap komunitas Ahmadiyah, maka hanya ada 3 cara. Pertama, komunitas Ahmadiyah Indonesia kembali pada ajaran Islam yang sesuai Alquran – Hadits.
Ke-2, organisasi Ahmadiyah harus menegaskan diri secara terbuka bahwa komunitas Ahmadiyah bukan bagian dari umat Islam. “Ini cara yang sebaiknya dilakukan untuk melindungi komunitas Ahmadiyah dari amarah masyarakat muslim yang tidak mau dinodai agamanya,” papar Musni Umar.
Ke-3, pemerintah Indonesia membubarkan Ahmadiyah di Indonesia seperti yang diputuskan terhadap HTI. Jika ini dilakukan, niscaya mereka akan dilindungi sebagaimana umat agama lain.
“Komunitas Ahmadiyah salah kaprah jika meminta penafsiran Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang PNPS thn 1965, atau mencabut UU tersebut. Penyebab utama terjadinya kekerasan, adalah karena umat Islam merasa ajaran agamanya dinistakan dan diobok-obok oleh komunitas Ahmadiyah. “Lain yang gatal, lain yang digaruk,” demikian papar Musni Umar.
Keterangan H. Amidhan Sabherah, pakar HAM
Pakar HAM ini dalam penjelasannya kepada Majelis Hakim menjabarkan ihwal sesatnya Ahmadiyah sejak awal pendiriannya, wahyu-wahyu yang diterima Mirza Ghulam sampai pengakuannya sebagai Nabi yang diangkat langsung oleh Allah Subahanahu Wa ta’ala.
Beliau juga menjelaskan, tanggal 26/4/84, Pemerintah Pakistan menetapkan bahwa pengikut Mirza Ghulam Ahmad Qadian dan Lahore adalah non-muslim dan melarang mereka mengenakan istilah dan simbol-simbol Islam guna menyesatkan kaum muslimin, seperti masjid, adzan, umahatul mukminin, Khulafaur Rasidin, dan shahabat.
Pengikut Ahmadiyah, menurut Amidhan, sudah mengajukan banding ke Pengadilan Syariah. Namun Pengadilan Syariah di Pakistan menolak banding tanggal 15/7/84, bahkan setelah melalui tahap peradilan yang panjang (1988 – 1993), Mahkamah Agung (Supreme Court) Pakistan menetapkan keputusan final tanggal 3/7/93 bahwa Ahmadiyah bukanlah bagian dari agama Islam. Pengikutnya digolongkan non muslim dan menetapkan Ahmadiyah sebagai agama minoritas seperti Kristen dan Hindu di Pakistan. Di Indonesia pun, Amidhan menuturkan, fatwa sesatnya Ahmadiyah telah dikeluarkan oleh berbagai ormas Islam, misalnya dari MUI, NU, Muhammadiyah dan Persis.
Ahmad Hasan, tokoh Persatuan Islam (Persis), pernah 2x debat terbuka dengan ahli dakwah dari Ahmadiyah, tahun 1933 di Bandung dan 1934 di Jakarta. Selanjutnya pasca-Munas MUI yang ke-7, dukungan untuk fatwa tentang Ahmadiyah juga disampaikan berbagai ormas Islam seperti Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia, HTI, Syarikat Islam, al-Irsyad, ICMI, YPI Al-Azhar, Front Pembela Islam, Forum Perjuangan Islam Solo, Majelis Mujahidin Hidayatullah, Al-Ittihadiyah, PERTI, MUI, Al-Wasliyah, dan ormas Islam lainn baik di tingkat nasional maupun di daerah seluruh Indonesia.
Bahkan, menurut Amidhan, di dalam Halakah Nasional PBNU yang diadakan awal September 2005 juga ditegaskan kembali dukungan pada fatwa MUI tentang Ahmadiyah. Dukungan atas fatwa munas MUI ini juga disampaikan oleh para kyai pengasuh ponpes di Jawa, Madura & Sumatera.
Berlandaskan fakta-fakta di atas, dan dengan memperhatikan keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami Organisasi Konfrensi Islam (OKI) dalam muktamar ke-2 di Jeddah, 22-28 Desember 1985, menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang meyakinii Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad dan mendapatkan wahyu adalah murtad dan keluar dari ajaran Islam sebab mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.
Masih menurut Amidhan, dari tinjauan HAM, setiap individu memang memiliki kebebasan berkeyakinan dan beragama. Tetapi, negara memiliki kedaulatan. Saya sebut domestikifikasi terhadap HAM internasional, untuk mengatur sendiri agar kebebasan seseorang tidak menabrak dan merusak kebebasan orang lain. Dalam UUD 45 pun (perubahan kedua), tahun 2001, sudah dicantumkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, mempunyai konstitusi tentang HAM yang menurut saya terpanjang di dunia, yaitu bab 10A dengan 10 pasal, luar biasa itu.
“Akan tetapi, agar tidak menabrak kebebasan orang lain, maka dicantumkan satu pasal yang cukup penting, yaitu Pasal 28J yang sudah kita ketahui bersama (disebutkan dalam ayat 1) agar setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kemudian (ayat 2) “Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak, dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Hadir mewakili Dewan Da’wah di sidang ini adalah: Sekretaris Umum Drs. Avid Solihin, MM., Waketum Drs. Amlir Syaifa Yasin, MA., Waketum Bidang Pendidikan Dr. Mohammad Nur, Ketua Ghazwul Fikri dan Pusat Kajian H.T. Romli Qommaruddien, MA., Ketua Pusat Dokumentasi Hadi Nur Ramadhan, serta Humas Dewan Da’wah Yuddy Ardhi dan Muttaqin Salam. Juga hadir menyaksikan sidang Aktivis Politik Dewan Da’wah Drs. Zulfi Syukur,Ketua Bidang SDM Dewan Da’wah, Dr. M.A. Salam, AS, MBA, M.Si.
Dalam sidang tersebut, hadirnya Dewan Da’wah didampingi Kuasa Hukum Akhmad Leksono, SH., Sani Alamsyah, SH., Mulyadi, SH., dan Rubby Cahyadi, SH. Hadir juga Kuasa Hukum dari MUI Kaspudin Nor, SH, Msi dan Erfandi, SH.
Selanjutnya, sidang ke lima belas akan digelar hari Selasa, 20/2/18, dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari YLBHI, dan menjadi sidang terakhir Majelis Hakim mendengar keterangan para ahli.
Dari : Humas Dewan Dakwah dewandakwah.or.id/lain-yang-gatal-lain-yang-digaruk